Hello, world! Been a while 🙂
WWL. Weaning With Love. Menyapih dengan Cinta.
Bulan Desember 2019 ini Hanun genap berusia 2 tahun. Beberapa bulan sebelum hari ulang tahunnya tiba, aku sudah galau memikirkan cara menyapih bayi pecinta nenen ini. Aku berfikir bahwa menyapih akan menjadi hal yang sangat sulit dan penuh drama karena Hanun sangat tergantung dengan nenen sebagai pengantar tidur, pendamping tidur, penjaga tidur, dan penenang hati di kala sedih nan gusar. Terbersit pula pikiran bahwa ‘kalau Hanun enggak nenen, nanti dia tidak membutuhkanku lagi’. Masa-masa itu sungguh membuatku galau.
Lalu, pada suatu malam, turunlah kabar bahwa ada benih buah hati lain yang tumbuh dalam rahimku ini. Sebuah kenyataan yang cukup mengejutkan, mengharukan, dan menggalaukan. Perasaanku campur aduk. Aku senang, tapi aku gusar. Apakah Hanun tidak apa-apa? Apakah aku bisa? Apakah semua akan baik-baik saja? Ya, semua akan baik-baik saja. Aku dan suamiku sepakat akan hal itu. Tidak ada cinta yang akan terbagi. Cinta kami akan terkalilipatkan untuk para makhluk kecil dari surga ini.
Setelah aku memberi kabar ke beberapa orang terdekat, mulailah muncul berbagai komentar. “Sudah, segera sapih saja. ASI orang hamil itu sudah bukan susu, tapi darah”. Ada lagi. “Cepat segera disapih. Nanti Hanun malah jadi kurus dan sering sakit”. “Jangan disusui. Susunya rasanya udah nggak enak. Bikin meriang.” Dan lain-lain. Karena kata dokterku, kondisiku dan janin bagus, aku diperbolehkan terus menyusui. Nanti lama-lama rasa ASI akan berubah (persiapan pembentukan kolostrum untuk adek bayi) dan Hanun akan kurang suka dengan sendirinya.
Aku yakin dan aku mantap untuk terus menyusui Hanun sampai usia 2 tahun. Namun, semakin hari kurasakan kuantitas ASI menurun dan puting terasa ngilu setiap kali dinenen, hingga pada suatu malam terjadilah sebuah drama. Hanun nenen lama sekali sampai putingku terasa super ngilu. Tidak kuasa menahan ngilu, aku melepas paksa si puting dari mulut mungil dan gigi tajemnya. Apa yang terjadi? Hanun ngamuk, Hanun marah! Dia menangis sampai kedengeran ke tetangga. Untungnya nggak sampai mecahin piring atau mukulin panci. Nangisnya super kejer dan tidak ada pelampiasan untuk itu. Jadi aku dan suamiku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggunya tenang dan sesekali mengalihkan perhatiannya. Sesekali saja, karena kalau kami salah ngomong, level marahnya bisa melesat drastis. Akhirnya Hanun lelah dan mau digendong, mau dipeluk, mau diajak lihat hape lalu tertidur wkwk. Sejak kejadian itu, aku berpikir, apakah ini saatnya untuk latihan meninggalkan nenen?
Sebelum aku memutuskan untuk melakukan WWL, aku berbagi kegusaran dengan beberapa orang di sekitarku. Lalu, seperti yang kusangka, aku mendapatkan beberapa tips ekstrim. “Kalau mau disapih, di perguruan bukit sebrang kali ada nyai yang punya ramuan penyetop ngentil”; “Dikasih gincu saja putingnya, pasti Hanun takut dan nggak mau nenen”; “Kalau aku dulu, puting kuoles dengan jeruk nipis, setelah itu anakku nggak mau lagi”; “Mau kucarikan brotowali?”; “Titipkan saja Hanun di rumahku selama beberapa hari biar lupa sama kamu”. Dan lain-lain. Hhh.. Beberapa saran memang umum dilakukan. Namun, beberapa lagi terdengar terlalu kejam. Kutaksangguppp..
Lalu, kuputuskan untuk sok idealis dengan berpedoman bahwa “Nenen adalah pengalaman yang menyenangkan. Jangan sampai Hanun menyelesaikan hal ini dengan kenangan buruk”. Nah, aku mulai membaca pengalaman menyapih para ibu sabar nan cerdas. Mulai bulan Oktober aku sounding ke Hanun tentang penyapihan ini dengan bahasa sesederhana mungkin yang kayaknya masih terdengar rumit di telinganya. Rencananya aku akan melakukan sounding dari bulan Oktober sampai dia berusia 2 tahun. Sekitar 2 bulan. Nah, mulailah aku membuat rutinitas sebelum tidur.
- Sekitar jam 8 aku mengajak Hanun ke kamar dan mematikan lampu sebagai tanda bahwa ini saatnya tidur.
- Ritual selanjutnya adalah mengganti popok, memakaikan minyak telon, sambil membaca Alfatihah bersama.
- Setelah baca Alfatihah dan baca doa, biasanya aku minta dipeluk sambil mengucapkan “I love you”. Dia sangat suka melakukan hal itu.
- Setelah itu? Ya, kadang Hanun masih jumpalitan dalam kegelapan. Tapi sebisa mungkin kuajak ngobrol dengan wajah berdekatan. Obrolan kami kurang lebih seperti ini:
- Nun, sekarang sudah bulan Oktober. Setelah Oktober, lalu November, dan Desember. (Setelah diulang setiap malam, dia akan bisa menyebutkan nama 3 bulan itu walaupun -ber -ber nya saja wkwkw. Bisa dilakukan sambil ngitung pakai jari).
- Nanti di bulan Desember, Hanun sudah dua tahun. (Setelah diulang setiap malam, dia bisa diajak berdialog, e.g. Bulan Desember nanti, Hanun berapa tahun?)
- Nah, kalau sudah dua tahun, berarti Hanun sudah gede. Kalau sudah gede, berarti sudah tidak nenen. (Di bagian ini, awal-awalnya Hanun pasti nangis atau minimal ngrengek sebagai ekspresi bahwa dia tidak suka kalau harus tidak nenen. Tapi lama-kelamaan dia meneruskan kalimatku dengan bilang “Enggak nenen lagi”. Setelah mengucapkan itu, dia tetep nyari nenen sih. Tapi paling nggak, ada pesan yang dia tangkap.)
- Eh, Mas Reyhan itu udah gede kan ya, Nun? Masih nenen enggak? (“Enggak”, jawabnya). Nah, Mas Reyhan udah nggak nenen. Kalau mau mimik, bisa mimik susu kotak pake sedotan, air putih pakai botol, trus kalau siang boleh minum yakult pakai sedotan. (Setelah diulang beberapa kali, dia bisa nerusin semacam “Mik susu kotak, mik air putih, mik yakult…”)
- Oh ya, hari ini Hanun sudah ngapain aja? Sudah pinter apa? (Biasanya dia akan cerita kalau dia pinter minum yakult pake sedotan, pinter baca buku, pinter nonton tivi, pinter nonton baby bus -_- …dll. Di sini aku mengiyakan dan sesekali memberi reaksi yang penuh perhatian.)
- Setelah ngobrol-ngobrol implisit yang sejatinya merupakan hasutan untuk tidak nenen lagi, biasanya kutawarin apakah dia mau dicritain atau dinyanyiin. Jawabannya beda-beda tiap malem. Kadang kudongengin tentang hewan-hewan kesukaannya. Apesnya tu kalau dia pas belum ngantuk, dia bakalan tanya terus seperti “Kelinci apa? Wortel apa? Enak apa?” dan “apa-apa” yang lain hingga pada akhirnya aku jawab “….kelinci cinun-cinun”. Pun itu dia masih nerusin “Cinun-cinun apa?”. Kalau udah gini, kuganti cerita dengan lagu. Lagunyapun masih sering diprotes. “Hanun kecilku sudah ngantuk, mau bobok bersama ibuk”. Eh diprotes “Enggak, enggak! Mau makan jeruk… “. Lalu kuganti liriknya jadi “Hanun kecilku sudah ngantuk, mau makan jeruknya ibuk”…dst.
Ritual-ritual ini kulakukan setiap malam selama sekitar dua minggu. Pada beberapa malam, dia bilang bahwa “Nenen ibu masih sedikit”. Mungkin maksudnya “tinggal sedikit”, karena memang kurasa kuantitasnya menurun. Lalu kutanggapi, “Oh, iya ya, Nun?”. Dia kadang menjawab, “Iya. Tapi enak”. Lalu kadang dia lanjut nenen, kadang hanya mengecup sebentar. Selama beberapa hari dia melakukan itu hingga lama-kelamaan dia sama sekali tidak ngemut nenen, hanya membicarakannya saja. Kadang juga dia minta memegang dan bilang “Hanun nenen”. Tapi yang dilakukan hanya memasukkan puting ke mulutnya barang satu detik lalu dilepasnya sambil bilang “Udah”. Oh iya, selain bilang bahwa nenen ibu masih dikit, Hanun juga sering bilang bahwa nenen ibu sakit. Ini karena memang si nenen pernah super ngilu saat itu.
Nah, memasuki bulan November, Hanun sudah tidak pernah lagi minta nenen. Sesekali dia mengecup nenen dari luar baju sambil senyum-senyum. Pada scene ini seringnya aku terharu berkaca-kaca dengan perasaan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Lalu kuusap-usap dan kukecup ubun-ubunnya.
Kuanggap penyapihan ini berhasil dengan mulus. Bahkan proses ini berjalan lebih cepat satu bulan, karena targetku sebenarnya adalah bulan Desember. Aku tidak pernah menyangka bahwa Hanun akan memahami pesan-pesan yang kusampaikan secara intens, masif, dan sisetematis itu. Baru benar-benar kusadari bahwa dia sudah bisa kuajak berkomunikasi dengan baik serta mengingat hal-hal yang kusampaikan. Ya Allah, aku terharu.
Itulah perjalanan menyapih Hanun. Menyapih dengan cinta memang butuh kesabaran. Tapi kenangan yang kita berikan adalah kenangan indah di mana si nenen selalu mendapat tempat spesial di hatinya. Tidak ada dendam tidak ada luka. Benar-benar persahabatan yang indah antara nenen dan Hanun. Terimakasih nenen, kamu telah menemani anakku bertumbuh dan berkembang. Tak hanya menemani, bahkan kamu menghidupi. Salam untuk nenen di seluruh dunia!