Uncategorized

Cerita Lahiran Fara


Hello, world! When did the last time I write? Decades ago, probably.

Mumpung Hanun sedang tidur siang dan suami sedang di rumah, aku mau memanfaatkan waktu ini untuk mencoba menulis lagi. Jujur aku sedikit terharu karena ternyata aku masih bisa mengetik menggunakan keyboard pc dengan kesepuluh jariku ini, ya Allah, setelah sekian lama jari-jariku ini hanya menyentuh kulit pantat bayi-bayiku yang tanpa dosa itu.

Let’s jump in, keburu Hanun bangun dan me-time ku porak poranda. Kali ini aku mau cerita tentang kelahiran anak keduaku yang bernama Fara. Faranisa Mursid J. Biarlah “J” ini menjadi teka-teki.

Sama seperti ketika mengandung Hanun, alhamdulillah kehamilan keduaku ini kuanggap lancar. Ibu, anak, dan suami sehat semua. Dan walaupun ini kehamilan kedua, tetap ada rasa deg-degan menyongsong kelahiran si bayi.

Seperti artikel-artikel yang sering kubaca, seorang ibu hamil tidak perlu buru-buru ke rumah sakit kalau belum saatnya. Nah, pagi itu aku ke kamar mandi dan mendapati ada flek di celana dalamku. Aku berpikir bahwa saatnya sudah dekat! Tapi aku tetap stay cool, dong. Kontraksi kecil sudah ada, tapi belum per sekian menit. Jadi masih amanlah dan tak perlu terburu-buru ke rumah sakit. Lalu, pagi itu aku masih beraktifitas seperti biasa. Aku masih masak, nyapu, beres-beres, mandiin Hanun, nyuapin Hanun, jalan-jalan di depan rumah, ngelamun, dan rebahan seperti biasa.

Sesiangan dan sesorean, Fara kayaknya udah mulai cari-cari jalan keluar. Beberapa kali terasa kontraksi. Tapi tetep, intervalnya belum stabil. Malam harinya, rahim kencengnya lumayan banget-bangetlah, kayak bola. (Btw, aku jadi inget lagunya The Cranberries versi kearifan lokal yang liriknya “Jangan samakan aku dengan sebuah bolaaa……Aku, aku bukan bolaaaa..”).

Sekitar jam 11 malam, ketika sinar rembulan menembus vitras putih, anjing tetangga terdiam dalam tidur, dan suami berserta Hanun tengah mendengkur, perutku ini mengeras alias berkontraksi lumayan kuat. Hal ini membuatku terbangun. Nah, ketika aku mengangkat badan, terdengar suara dari bawah sana. “Pletuk!” Wah, inilah rasanya pecah ketuban. Keluarlah bagian dari habitat si fetus Fara di dalam rahim. Air ketuban yang banyak dan hangat keluar, membasahi tempat tidurku.

Lalu, aku membangunkan sahabat terdekatku, “Yah, Ayah. Kayaknya mau lahiran. Ayo ke rumah sakit”. Berbekal pengalaman wagu di kelahiran sebelumnya, beliau ini langsung bangun dan bersiap-siap. Segala sesuatu yang kira-kira diperlukan sudah kupacking dengan rapi beberapa hari sebelumnya, tinggal angkut. Sementara itu, aku menelpon Mamak Tum untuk menjaga Hanun. Sekitar pukul 12 Mak Tum datang. Setelah berpamitan, kami berangkat menuju ke rumah sakit untuk bertemu dengan si penghuni rahim. Bismillah.

Kira-kira kami sampai rumah sakit pukul 12.30 dini hari. Setelah mendaftar di resepsionis, kami diminta ke ruang VK (setelah kucari tahu, ini stands for Verlos Kamer atau Ruang Bersalin). Karena saat itu aku mikirnya hanya IGD, maka kami menuju ke IGD dan duduk di ruangan sambil menunggu karena ada pasien yang sedang ditangani. Saat memperhatikan para perawat yang sibuk dan keluarga pasien yang panik, ada satu perawat menengok ke arahku. Seakan menjawab pertanyaan tak terlontarkan dari mas perawat, aku bilang “Ini, Mas. Ketuban pecah, hehe. Kayaknya mau lahiran. Ini ruang VK kan ya?”. Lalu dengan merubah ekspresi wajah, mas itu pun berkata, “Oh, bukan, Bu. Ini IGD. Mari saya antar ke VK”.

Oh, begitu. Jadi dari tadi kami salah ruang. Udah gitu pak suami juga ngikut-ngikut aku aja, wkwk. Di ruang VK, para bidan sudah bersiap menyambut. Aku dipersilakan rebahan di ranjang pasien dan akan dilakukan VT (vaginal touch) atau pemeriksaan dalam. Aku tahu kalau rasanya ngilu, tapi aku siap.

Setelah dilakukan pemeriksaan, bidan memberi tahu bahwa sudah terjadi pembukaan lima. Aku masih tenang karena nyeri kontraksi masih wajar. Kali ini aku meminta suamiku untuk menemaniku di ruang persalinan sampai proses selesai. Aku berharap dia terharu melihat perjuanganku mengejan, biar besok-besok lagi aku lebih disayang-sayang. (tapi ternyata sama aja wkwk).

Mungkin karena aku terlihat baik-baik saja, para bidan tidak melakukan VT lagi. Sesekali aku whatsappan dengan orang tua dan keluarga supaya didoakan. Beberapa perawat datang dan pergi. Ada yang mengambil sample darah, ada yang memasang infus, ada yang menyiapkan peralatan, dan ada yang telpon dokter kandunganku (tapi  gak diangkat :v).

Lalu, menit demi menit terlewati. Kontraksi semakin sering dan semakin intens. Sesekali rasa ingin mengejan datang. Dan pada suatu detik, rasa pengen mengejan ini kenceng sekali sampai aku tak kuasa menahan suara. Aku sedikit berteriak dan memanggil para bidan, “Mbak! Tolong dicek lagi ini. Kok rasanya udah mau mengejan.” Lalu dua orang bidan datang; yang satu bersiap melakukan VT, yang satu mendampingi. Dan setelah selesai pemeriksaan VT, mereka saling berbisik dan bersegera menelpon dokter kandunganku.

Setelah sekian menit mengalami kontraksi kenceng dan keinginan mengejan yang cukup kuat, para bidan belum juga mempersilakanku untuk mengejan. Dan nampaknya dokter kandunganku tidak bisa dihubungi. Huhu. Finally, mereka memanggil dokter kandungan lain.

“Duh, Mbak. Gimana nih, boleh ngeden belum?”, tanyaku. “Bentar ya, Bu. Tunggu dulu. Atur nafas.”, kata Bidan 1.
Lalu kudengar lirih perbincangan antara bidan 1 dan bidan 2 yang kurang lebih bilang seperti ini, “Udah bukaan lengkap nih.” “Iya, udah bukaan lengkap. Tapi dokter belum datang”.

Kusimpulkan bahwa saat itu aku sudah seharusnya mengejan, namun para bidan menahanku karena dokter belum datang. Bayangkan, aku harus menahan keinginan kuat nan alami untuk mengejan. Susaaah banget.

Lalu, datanglah si ibu dokter. Para bidan bergegas bersiap mendampingi dokter. Aku diposisikan sedemikian rupa. Dan saat kontraksi datang, rasa ingin mengejan itu datang lagi dengan kuat. Kusempatkan bertanya kepada bu dokter, “Bu, gimana nih. Saya pengen ngeden.”. Apa coba jawabnya? “Yaudah, ngeden aja.”, katanya.

Hyaampun sebelll. Sebel kenapa? Ya karena ternyata memang udah boleh ngeden. Akhirnya aku mengejan kuat kuat. Mungkin tiga atau empat kali mengejan masih belum berhasil. Sampai pada waktu bu dokter bilang, “Nah tuh, kepalanya udah kelihatan. Yang kuat. Jangan putus ngedennya. Dorong teruss..itu …itu …”, kata bu dokter sambil mengamati jalan lahir bayiku.

Alhamdulillah, tenagaku masih cukup untuk mengejan dengan sangat kuat. Keluarlah si bayi pukul 1.30 dini hari. Alhamdulillah.. Sakit kontraksi dan keinginan mengejan sirna sudah. Tak ada bekas-bekas rasa sakit yang ditinggalkan. Ya beneran hilang gitu rasa sakitnya. Namun, jangan santai dulu. The real kepedihan baru akan dimulai.

Sambil menatap bayiku yang sedang dibersihkan, dokter mulai mengamati bekas bekas luka yang terjadi. Walau tidak terasa sakit, robekan-robekan yang ada perlu dirawat dan dikembalikan seperti sedia kala. Oh, bayiku langsung pup, alhamdulillah. Lahir-lahir langsung kebelet ya, Dek. Yaudah, ibuk menyelesaikan proses jahit menjahit ini dulu. Demi kelangsungan kehidupan yang lebih baik.

Setelah proses menjahit dan bersih-bersih selesai (atau mungkin bersamaan dengan proses menjahit ya, aku lupa), bayiku diberikan kepadaku untuk inisiasi menyusui dini atau IMD. Berbeda dengan Hanun dulu yang hanya beberapa menit IMD, bayi keduaku ini sekitar satu jam menempel di dada untuk IMD. Nampaknya dia sudah pintar mencari puting dan menghisapnya. Good job, girl!

Alhamdulillah everything well went. Seperti kelahiran Hanun, kami hanya berdua menyambut Fara. Tidak ada ayah, ibu, ataupun saudara yang menemani. Sebagai pasangan rantau, this feels normal dan kami merasa baik-baik saja serta bahagia. Keluarga yang di Jogja selalu mendoakan kami sampai akhirnya kami bisa mengantarkan Fara ke dunia ini dengan lancar.

Dua hari paska melahirkan aku sudah berada di rumah. Kali ini rumahku sedikit lebih penuh karena ada satu penghuni baru; Faranisa Mursid J. Sebagai seorang wanita kuat, aku langsung mengerjakan pekerjaan rumah sendiri seperti biasanya, namun kok yo kerasa pegel-pegel dan gliyengan. Untung beberapa hari kemudian Mbah Uti dan Akung dari Jogja datang. Alhamdulillah…

Okay. This is the end of the story.

P.S. Proses penulisan dikerjakan berbulan-bulan karena gak konsen. Banyak gangguan. Akhirnya keposting juga saat Fara beberapa minggu lagi berusia 2 tahun. Good job, ibuk!

Leave a comment